BAB I
PENDAHULUAN
Ajaran Islam pada mulanya bersifat murni dan sederhana. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, ajaran yang bersifat murni dan sederhana itu dikembangkan oleh pemikiran manusia, terutama oleh kalangan ulama dan pemikir Islam. Ajaran Islam yang bersifat murni dan sederhana ialah yang ada pada masa Nabi. Yaitu sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan semakin berkembangnya umat Islam dan ketika Nabi wafat tidak ada lagi tempat bagi umat Islam untuk bertanya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan persoalan-persoalan baru yang mereka hadapi. Hal ini mendorong kaum ulama dan para pemikir untuk mencari pemecahannya, baik dengan jalan ijtihad maupun dengan cara penalaran akal pikiran. Dengan demikian lahirlah ajaran Islam dan ilmu-ilmu keislaman yang sebagian di antaranya berasal dari Al-Qur’an atau hadits, dan sebagian lainnya berupa hasil pemikiran.Tidak mengherankan jika dikalangan umat Islam muncul persoalan-persoalan baru. Sedang pemecahannya tidak ditemukan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam hadits. Oleh karena itu untuk memecahkan persoalan-persoalan itu tidak ada cara lain kecuali dengan menggunakan pemikiran. Pemikiran di antara masing-masing orang tidak selalu sama. Karena itu pendapat-pendapat yang dihasilkan oleh pemikiran bisa pula berbeda.Berkenaan dengan hal tersebut maka untuk dapat mengenal mana yang berasal dari Al-Qur’an atau dari hadits dan mana yang berupa hasil pemikiran, caranya adalah dengan jalan mengetahui sejarahnya, yakni sejarah munculnya ajaran dan ilmu-ilmu dimaksud.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Persoalan-Persoalan Teologi Dalam IslamSebelum membicarakan sejarah munculnya persoalan teologi dalam Islam, kiranya perlu terlebih dahulu dijelaskan seperlunya apa yang dimaksud teologi.Kata “teologi” di dalam bahasa Indonesia adalah berasal dari “theology”. Yaitu ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia nyata. Apabila teologi ini dibawa ke dalam Islam, maka yang dimaksud dengan teologi sama dengan yang disebut Ilmu Kalam, yaitu ilmu yang membicarakan tentang masalah akidah agama dengan argumen yang meyakinkan.Semasa Nabi, apapun permasalahan yang timbul diselesaikan dengan turunnya wahyu atau dengan kebijakan Nabi dan Nabi menggaris bawahi: apabila permasalahan yang muncul, tidak dapat diselesaikan denga wahyu/hadits, boleh menggunakan akal pikiran atau istilah populer ijtihad.Selama pemikiran yang diupayakan setiap pemikir muslim, dalam bidang apa pun, berada dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan sunah Nabi, maka pemikiran tersebut dapat disebut pemikiran Islam.Pengertian yang dapat diungkapkan dari pemikiran Islam ialah kegiatan manusia dalam mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari sesuatu materi ataupun esensi serta renungan terhadap sesuatu wujud, baik materinya maupun esensinya, maka dapat diungkapkan hubungan sebab dan akibat dari sesuatu materi ataupun esensi, asal mula kejadiannya, serta substansi dan wujud/eksistensi sesuatu yang menjadi obyek pemikiran. Agak aneh kiranya kalau dikatakan bahwa dalam Islam, sebagai agama, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini meningkat menjadi persoalan teologi. Agar hal ini menjadi jelas perlulah terlebih dahulu kembali sejenak ke dalam sejarah Islam, tegasnya ke dalam fase perkembangannya yang pertama. Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah, bahwa setelah Nabi wafat pada tahun 11 H, Abu Bakar Al-Shiddiq terpilih sebagai pengganti beliau, dan disebut Khalifah (khalifah). Abu bakar menjadi khalifah selama dua tahun, yaitu dari tahun 11 hijriah sampai ia wafat pada tahun 13 hijriah. Setelah abu bakar wafat, umar bin Khattab ditetapkan sebagai penggantinya. Yaitu sebagai khalifah kedua. Sebelum wafat, memang abu bakar telah mencalonkan umar sebagai pengganti dirinya. Umar menjadi khalifah selama sepuluh tahun, yaitu dari tahun 13 hijriah sampai ia wafat pada tahun 23 hijriah. Setelah wafat umar, usman bin Affan terpilih untuk menggantikannya. Yaitu sebagai khalifah yang ketiga.Usman menjadi khalifah selama dua belas tahun, yaitu dari tahun 23 sampai tahun 35 hijriah. Dalam menjalankan kepemimpinannya ia berada dari dua orang khalifah sebelumnya, yaitu Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar dan Umar tidak pernah mementingkan keluarganya dalam mengangkat para pejabat seperti jabatan wali (gubernur) dan jabatan penting lainnya. Sedang Usman tidak demikian. Ia kelihatannya mementingkan keluarganya. Beberapa gubernur yang diangkat di masa Umar diberhentikan oleh Usman. Sebagai penggantinya ia mengangkat orang-orang dari pihak keluarganya. Tindakan politik Usman yang demikian menimbulkan reaksi yang akibatnya merugikan bagi dirinya sendiri. Sahabat-sahabat nabi yang semula mendukungnya, melihat kebijakan dan tindakannya yang seperti itu, mereka menjadi kecewa dan berubah sikap, yakni tidak lagi mendukungnya.Tindakan Usman yang berakibat sangat merugikan dirinya ialah memberhentikan gubernur mesir, ‘Amr Ibn al-‘Ash, dan menggantinya dengan ‘Abdullah Ibnu Sa’d Ibn Abi Sarh, salah seorang anggota kaum kerabat Usman. ‘Amr Ibn al-‘Ash adalah gubernur mesir yang diangkat pada masa khalifah Umar. Sebelumnya ia adalah panglima perang yang memimpin laskar kaum muslimin berhasil menaklukan Mesir. Atas jasanya itu disertai dengan kemampuan dan kecakapannya ia diangkat oleh khalifah Umar menjadi gubernur Mesir.Sebagai reaksi terhadap diberhentikannya Amr Ibn Al-Ash yang diganti dengan salah seorang kerabat Usman itu, kurang lebih lima ratus orang pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak menuju Madinah. Dari kalangan pemberontak berasal dari Mesir yang datang ke Madinah ini ada yang melakukan pembunuhan terhadap Usman, hingga ia wafat akibat pembunuhan tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tahun 35 H.Setelah wafat Usman, Ali Ibnu Abi Thalib terpilih menjadi penggantinya, sebagai khalifah keempat. Ali menjadi khalifah selama lima tahun, yaitu dari tahun 35 H sampai ia wafat pada tahun 40 H. Terpilihnya Ali sebagai khalifah tidak mendapat dukungan mayoritas kaum muslimin saat itu. Di samping itu ia mendapat tantangan dari pihak yang berambisi ingin menjadi khalifah. Selain itu ia juga mendapat tuduhan terlibat dalam pembunuhan terhadap Usman.Tantangan pertama adalah dari sebagian pemuka sahabat di Mekah yang dipelopori oleh Thalhah dan Zubair dan didukung oleh Aisyah, isteri Nabi ketika beliau masih hidup. Tantangan ini membawa kepada terjadinya perang antara mereka dengan Ali yang disebut dengan perang Jamal (perang unta). Disebut demikian karena dalam perang ini Aisyah berkendaraan unta. Dalam perang tersebut pihak Ali berhasil mengalahkan pasukan yang dipimpin oleh Thalhah dan Zubair yang didukung oleh Aisyah itu. Thalhah dan Zubair mati terbunuh, sedang Aisyah ditawan, kemudian dikembalikan ke Mekah.Tantangan kedua adalah dari Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur negeri Syam di Damaskus, salah seorang keluarga dekat Usman. Di samping tidak setuju dengan pengangkatan Ali menjadi khalifah, Muawiyah menuntut bela atas kematian Usman. Ia mendesak Ali agar menghukum orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan terhadap Usman. Ia juga menuduh Ali ikut campur tangan dalam pembunuhan tersebut. Di antara pemuka pemberontak yang terlibat dalam pembunuhan Usman itu terdapat seorang anak angkat Ali bernama Muhammad bin Abi Bakar. Namun Ali tidak mau memenuhi desakan Muawiyah itu. Ia tidak melakukan tindakan hukum terhadap mereka yang dikatakan terlibat dalam pembunuh atas diri Usman tersebut. Disamping itu Ali bahkan mengangkat Muhammad bin Abi Bakar menjadi gubernur Mesir. Berawal dari perselisihan antara Ali dan Muawiyyah, para sejarawan sepakat bahwa pemicu perselisihan mereka adalah tuntutan qisas bagi pembunuh Utsman. Muawiyyah beranggapan bahwa Ali sengaja tidak melaksanakan kewajiban untuk mengqisas para pembunuh Utsman. Itu sebabnya, ia menolak membaiat dan menaati Ali. Ia menuntut pelaksanaan qisas sebelum membaiat Ali sebab ia merasa berhak atas tuntutan itu karena kekerabatannya dengan Utsman.Berkaitan dengan persoalan ini, Ibnu Hazm berkata bahwa Ali memerangi Muawiyyah karena ia menolak kebijakan-kebijakan Ali di seluruh dataran Syam, padahal Ali merupakan Imam yang wajib ditaati. Muawiyyah tidak hanya sekedar mengingkari kekhilafan Ali, ia bahkan dengan ijtihadnya berpendapat bahwa tuntutan terhadap pembunuh Utsman lebih utama daripada bai’at terhadap Ali. Ia pun menganggap dirinya paling berhak dari keluarga Utsman dan keluarga Al-Hakam bin Abi Al-Ash untuk menuntut kematian Utsman karena usia dan kekuatannya. Sikap Muawiyyah dalam persoalan tuntutan dapat dibenarkan, tetapi sikapnya yang lebih mementingkan tuntutannya daripada bai’at kepada Ali adalah keliru.Ali menganggap Muawiyyah dan pengikut-pengikutnya sebagai pemberontak karena sikap Muawiyyah yang tidak mau membaiat dan menuruti Ali serta tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan politis Ali di Syam. Penilaian itu bertolak dari pendapatnya bahwa bai’at Ali sebenarnya sah dengan kehadiran kelompok Muhajirin dan Anshar di Madinah. Dengan bai’at kedua kelompok itu, wajiblah bagi kaum Muslimin lainnya untuk mengakui kekhalifahan Ali. Itulah sebabnya, Ali menetapkan untuk menundukkan mereka agar kembali kepada persatuan walaupun dengan cara kekerasan.Apa yang tersebut di atas ini membawa kepada terjadinya perang antara pihak Ali dengan pihak Muawiyah. Perang ini dalam sejarah dikenal dengan perang Shiffin, karena pertempuran terjadi di satu tempat bernama Shiffin yang terletak di antara Kufah dan Damaskus. Dalam pertempuran ini pasukan Ali sudah hampir meraih kemenangan, dan pihak tentara Muawiyah sudah bersiap-siap untuk melarikan diri. Tetapi pada waktu ‘Amr Ibn al-‘Ash yang menjadi tangan kanan Muawiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat perang minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an ke atas dengan ujung tombak sebagai pertanda ingin ingin berhukum dengan Al-Qur’an.Para sahabat yang hafal Al-Qur’an di pihak Ali mendesak kepada Ali agar menerima tawaran tersebut. Namun sebagian yang lain di antaranya ada yang enggan menerima tawaran itu, karena menganggap hal ini kemungkinan hanya siasat dan tipu muslihat belaka. Sebenarnya Ali sangat berat menerima tawaran itu, namun karena desakan kuat dari para sahabat yang hafal Al-Qur’an itu, ia akhirnya bersedia menerima. Peperangan dihentikan, dan antara kedua belah pihak disepakati untuk berdamai dengan mengadakan tahkim (arbitrase). Untuk melaksanakan tahkim itu masing-masing dari kedua belah pihak menunjuk satu orang sebagai perantara. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin al-Ash, seorang yang dikenal ahli siasat dan sangat licik, sebagai perantara. Sedang pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari, seorang yang dikenal saleh, jujur dan takwa, sebagai perantara. Dalam pertemuan antara kedua orang perantara itu disepakati untuk sama-sama terlebih dahulu menjatuhkan kedua orang tokoh yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah. Kemudian setelah itu untuk menetukan siapa yang dipilih menjadi khalifah dilakukan musyawarah kaum muslimin. Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa masing-masing akan menyampaikan kepada orang banyak tentang dijatuhkannya kedua orang tokoh yang bersemgketa tersebut. Amr bin al-Ash akan mengumumkan tentang dijatuhkannya Muawiyah, dan Abu Musa akan mengumumkan tentang dijatuhkannya Ali.Rupanya kelicikan siasat dan tipu muslihat ‘Amr Ibn al-‘Ash dapat mengalahkan kejujuran Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan alasan sebagaimana tradisi yang lebih tua harus didahulukan, maka Amr bin Ash meminta yang lebih tua yakni Abu Musa Al-Asy’ari lebih dahulu berdiri mengumumkan penjatuhan Ali. Lantas Abu Musa berdiri dan mengumumkan kepada orang banyak apa yang telah disepakati dengan sejujurnya yaitu keputusan menjatukan Ali dari kedudukan sebagai khalifah. Sedang Amr bin Ash kemudian mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari kedudukan sebagai khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu. Oleh karena Ali telah dijatuhkan, maka menurut Amr bin Ash, sebagai penggantinya Muawiyah yang menjadi khalifah.Peristiwa tersebut di atas jelas sekali merugikan pihak Ali dan menguntungkan pihak Muawiyah. Yang sebenarnya legal sebagai khalifah adalah Ali, sedangkan Muawiyah tidak lain hanya sebagai gubernur yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Tetapi dengan adanya tahkim tersebut kedudukan Muawiyah naik menjadi khalifah yang tidak legal. Itulah sebabnya apa yang dihasilkan oleh tahkim itu ditolak oleh Ali. Oleh karena itu ia tidak mau melepaskan kedudukannya sebagai khalifah. Ia tetap mempertahankan dirinya sebagai khalifah sampai ia wafat pada tahun 40 H.Kesediaan Ali menerima tipu muslihat Amr bin Ash untuk mengadakan tahkim, meskipun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Apalagi kemudian tahkim yang dijanjikan berhukum dengan Al-Qur’an ternyata dilaksanakan tidak berhukum dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu mereka sangat kecewa atas tindakan Ali yang mau menerima permintaan berdamai dan mengadakan tahkim yang ternyata dilaksanakan tidak berhukum dengan Al-Qur’an itu. Mereka yang kecewa ini kemudian keluar dari kelompok Ali, karena mereka menganggap Ali telah bersalah. Mereka yang keluar meninggalkan kelompok Ali ini kemudian dikenal dengan sebutan kaum Khawarij. Kata “khawarij” berarti orang-orang yang keluar.Ketika Ali yang tadinya yang merupakan pemimpin yang ditaati oleh umat Islam, karena peristiwa tahkim golongan Khawarij keluar dari kelompok Ali dan menganggap Ali, karena keluar dari medan perang, sebagai berdosa besar. Orang yang berdosa besar (walaupun tadinya mukmin) dianggap kafir dan halal darahnya. Sejak itu mulailah timbul pembicaraan tentang term mukmin dan kafir. Yang menjadi pokok pembicaraan yang mula-mula sekali tentang akidah adalah orang mukmin yang berbuat dosa besar, mukmin ataukah kafir. Orang Khawarij menganggapnya kafir. Dengan demikian mulai ada pergeseran makna tentang kafir.Meskipun mereka yang disebut kaum Khawarij ini keluar dari kelompok Ali, namun mereka tidak memihak kepada Muawiyah. Karena, mereka menganggap Muawiyah juga telah bersalah. Bahkan tidak hanya Ali dan Muawiyah saja yang mereka anggap telah bersalah, tetapi semua yang terlibat dalam tahkim serta yang mendukungnya mereka anggap telah bersalah.B. Pemikiran-Pemikiran di Bidang Teologi/KalamDalam kenyataan sejarah, firqoh itu mempunyai faham-faham keagamaan yang dilatar belakangi politik, perbedaan secara tajam yang sulit untuk diperdamaikan. Keadaan ini sebenarnya telah disinyalir oleh Nabi akan kejadiannya. Banyak dijumpai hadits-hadits yang menerangkan hal itu, salah satunya:فَإِنَّهُ مَنْ يَعِيْشُ مِنْكُمْ مِنْ بَعْدِىْ فَسَيَرى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا وَعَضُّوْ عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ. رواه ابو داود“Maka bahwasanya barangsiapa di antara kamu yang hidup sesudahku (umurnya sampai lanjut) akan melihat perselisihan pendapat yang banyak. Ketika itu, pegang teguhlah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang diberi hidayah. Pegang teguhlah itu dan gigitlah dengan gerahammu (HR. Abu Daud).Sebagaimana telah dijelaskan bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Persoalan ini kemudian menjadi perbincangan aliran-aliran kalam dengan konotasi yang lebih umum, yakni status pelaku dosa besar. Kerangka berpikir yang digunakan tiap-tiap aliran ternyata mewarnai pandangan mereka tentang status pelaku dosa besar. Berikut ini adalah pandangan mereka.1. KhwarijDilihat dari segi bahasa, kata “khawarij” adalah jamak, dan mufradnya adalah “kharij”. Kata “kharij” adalah isim fa’il dari fi’il madhi “kharaja”, yang berarti keluar. Jadi, khawarij berarti orang-orang yang keluar.Dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidak sepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang shiffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Kelompok khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah yang sah yang telah dibai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra, dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukannya) untuk menghentikan peperangan.Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)nya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah. Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “Mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah”. Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungakapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan keliru”. Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Harura. Diantara doktrin kaum khawarij ialah:1. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.2. Muawiyyah dan Amr bin Al-Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.3. Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.4. Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.5. seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena Al-Qur’an mengatakan:`tBur óO©9 Oä3øts† !$yJÎ/ tAt“Rr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ “Siapa yang tidak memutuskan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, mereka itulah orang-orang yang kafir”. Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah. Karena keempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah ke luar dari Islam, yaitu murtad, mereka mesti dibunuh. Maka kaum khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali Ibn Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya.Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagaimana digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir.Lambat laun kaum khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.Sekte tertua atau sekte yang pertama di kalangan kaum Khawarij ialah Al-Muhakkimah, karena mereka inilah yang dikenal mempersoalkan tahkim dan memunculkan semboyan “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”.Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama, aliran khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh karena itu wajib dibunuh.Semua pelaku dosa besar (murtabb al-kabirah), menurut semua khawarij adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Hukum kafir ini pun mereka luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar, berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya menyebabkan pelakunya telah keluar dari Islam. 2. Murji’ah Kata “murji’ah” berasal dari kata “arja’a” atau “arja” yang berarti “menangguhkan” atau “memberi pengharapan”. Murji’ah berarti yang menagguhkan atau yang memberi pengharapan. Adapun yang dimaksud kaum Murji’ah di sini ialah orang-orang yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan terhadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum Khawarij. Bagi mereka, soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukannya sekarang. Mereka punya pandangan bahwa lebih baik menangguhkan penyelesaian persoalan tersebut dan menyerahkannya kepada keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari perhitungan sesudah hari kiamat nanti. Karena mereka berpendirian menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.Ada juga yang mengatakan, mereka disebut kaum Murji’ah karena mereka memberi pengharapan. Mereka berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak menjadi kafir, melainkan masih tetap mukmin dan tidak akan kekal di dalam neraka. Dalam hal ini, karena menurut pendapat mereka bahwa orang Islam yang berdosa besar masih tetap mu’min dan tidak akan kekal dalam neraka, berarti mereka memberi pengaharap akan masuk surga bagi orang Islam yang besar. Itulah sebabnya mereka disebut kaum Murji’ah.Mereka yang disebut kaum Murji’ah ini semula merupakan orang-orang yang bersikap netral dalam menyikapi situasi politik pada waktu itu. Tidak mau ikut mengkafir-kafirkan. Mereka menganggap semua yang bertikai itu adalah sahabat-sahabat yang dapat dipercaya. Karena itu mereka tidak mau menyatakan pendapat tentang siapa yang salah dan siapa yang benar di antara golongan yang bertikai itu, dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah yang nanti akan menentukannya. Secara garis besar, tiap-tiap sekte murji’ah berbeda pendapat. Harun Nasution berpendapat bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna di mata Tuhan. Dapat disimpulkan bahwa Murji’ah ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka. Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksaan neraka. 3. Syi’ah Dilihat dari segi bahasa, kata “syi’ah” berarti “pengikut”, “golongan”. Adapun yang dimaksud dengan Syi’ah disini ialah pengikut Ali bin Abi Thalib. Atau orang-orang yang menjadi golongan pendukung Ali bin Abi Thalib.Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan. Karena mereka beranggapan bahwa beliau adalah yang lebih berhak menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad Saw., berdasarkan wasiatnya. Menurut anggapan mereka bahwa Nabi telah menentukan Ali sebagai khalifah, sesudah beliau wafat, maka berarti Abu Bakar, Umar dan Utsman telah merebut haknya Ali. Demikian pula khalifah-khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah, mereka telah sengaja merampas kedudukan khalifah. Adalah menjadi kewajiban dari golongan Syi’ah mengembalikan hak tersebut kepada yang berhak. Pemikiran teologi terpenting yang dimunculkan kaum Syi’ah ialah masalah imamah (kepemimpinan). Kalangan kaum muslimin pada umumnya menyebut penggangti Nabi dengan sebutan “khalifah”. Sedang kalangan Syi’ah menggunakan sebutan “imam”. Kata “imam” berarti pemimpin. Berkenaan dengan masalah imam inilah muncul istilah imamah di kalangan kaum Syi’ah.Syi’ah sebagai golongan pendukung Ali memang muncul ke permukaan setelah peristiwa tahkim. Akan tetapi bibit pemikiran teologi mereka dalam hal imamah telah mulai tumbuh jauh sebelum peristiwa tersebut, yakni sejak sesudah Nabi wafat. Menurut kaum Syi’ah, yang paling utama untuk menggantikan Nabi setelah beliau wafat adalah dari kalangan ahl al-bait, yakni keluarga dekat beliau. Dari sinilah mulai timbulnya pendapat dikalangan kaum Syi’ah tentang imam pengganti Nabi sesudah beliau wafat, dan tentang imam-imam berikutnya.Dari keterangan di atas tadi dapat diketahui bahwa kalangan kaum Syi’ah memiliki pemikiran teologi tersendiri yang berbeda dari kalangan umat Islam lainnya. Bedanya ialah tentang imamah. Menurut pendapat mereka, imamah adalah termasuk sendi agama (bagian dari rukun iman) dan merupakan fondasi Islam (bagian dari akidah). Imam adalah bukan manusia biasa, melainkan manusia yang bersifat ma’shum (terpelihara) dari dosa besar dan dosa kecil. Di sinilah letaknya perbedaan pemikiran teologi kaum Syi’ah dari kalangan umat Islam lainnya.Berkenaan dengan orang Islam yang melakukan dosa besar, Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika dia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat Wasil bin Atha, salah seorang pemimpin Mu’tazilah, mempunyai hubungan dengan Zaid. Moojan Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha.4. Mu’tazilah“Mu’tazilah” berasal dari kata “i’tazala”, yang berarti mengasingkan diri. Nama atau sebutan ini muncul setelah peristiwa yang terjadi antara Hasan Al-Bashri dengan Washil bin ‘Atha dan Amr Ibnu Ubaid berkenaan dengan status orang Islam yang berdosa besar. Hasan Al-Bashri dikenal sebagai seorang ulama besar dari kalangan tabi’in. Ia adalah pemimpin halaqah (majelis ta’lim) di masjid Basrah pada masa itu. Sedang Washil bin Atha, ia adalah salah seorang murid Hasan Al-Bashri. Ia dikenal sebagai seorang yang cerdas dan memiliki pemikiran rasional. Menurut informasi dari salah satu sumber, yakni sumber yang diperoleh dari Al-Syahrastani, disebutkan dalam suatu pengajian pada majelis ta’lim di masjid Basrah yang dipimpin oleh Hasan Al-Bashri ada yang menanyakan kepada beliau tentang status orang Islam yang berdosa besar. Ketika Hasan Al-Bashri sedang berpikir dan belum memberikan jawabannya, muridnya yang bernama Washil bin Atha mendahuluinya mengemukakan pendapat. Ia menyatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar adalah bukan mu’min, dan bukan kafir, tetapi berada di antara dua posisi. Setelah itu Washil mengasingkan diri ke salah satu sudut masjid. Di sana ia mengulangi lagi menyatakan pendapatnya itu kepada para pengikut majelis ta’lim Hasan Al-Bashri yang lainnya. Sehubungan dengan ini Hasan Al-Bashri berkata: Washil telah mengasingkan diri dari kita. Karena itulah, kata Al-Syahrastani, Washil bin Atha dan para pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah. Mu’tazilah muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini berbeda pendapat dengan golongan khawarij tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat di antara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam artian mereka memberikan status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir. Artinya manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. 5. Qadariyah dan Jabariyah Qadariyah dari segi bahasa berarti “kekuasaan” atau “kemampuan”. Adapun yang dimaksud Qadariyah di sini ialah paham yang menyatakan bahwa manusia kuasa atau mampu dalam melakukan perbuatan. Maksudnya, perbuatan manusia adalah dilakukan oleh manusia sendiri dengan kehendak dan kemampuannya sendiri. Dengan kata lain, perbuatan manusia adalah diwujudkan oleh manusia itu sendiri, atas kehendaknya sendiri, dan dengan menggunakan kemampuan yang ada dalam dirinya sendiri.Adapun yang dimaksud Jabariyah di sini ialah paham yang menafikan (meniadakan) perbuatan bagi manusia secara hakiki, dan menyandarkan perbuatan manusia kepada Tuhan. Maksudnya adalah perbuatan manusia bukan diwujudkan atau dilakukan oleh manusia sendiri atas kehendaknya sendiri, tetapi diwujudkan atau diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak Tuhan. Manusia dianggap tidak memiliki kebebasan dalam berkehendak dan tidak memiliki kemampuan melakukan perbuatan.6. Ahlus Sunnah Wal Jama’ahYang dimaksud dengan firqoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menurut Maulana Abu Said Al Kadimy:Ahlus Sunnah artinya orang-orang yang pengikut sunnah Rasulullah. Artinya berpegang teguh dengannya. Sedangkan yang dimaksud Al Jama’ah ialah Jama’ah Rasulullah dan mereka adalah para sahabat dan tabi’in. Mereka itu adalah orang-orang yang dijamin selamat dari api neraka. Adapun penyiar faham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah dua orang ulama yang terkenal, yaitu:1. Abu Hasan Al Asy’ari, lahir di Bashrah pada tahun 873 M/260 H dan wafat 934 M/324 H. Pengikut-pengikutnya disebut Asy’ariyah.2. Abu Mansur Al Maturidi, lahir di Maturidi Samarkand pada tahun 882 M/333 H dan wafat 944 M/334 H. Pengikut-pengikutnya disebut Maturidiyah. Berkenaan dengan orang Islam yang melakukan dosa besar Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbusatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan Pemikiran di bidang kalam muncul disebabkan karena persoalan politik dan berawal dari peristiwan antara Ali dengan Muawiyah yang pada saat itu tidak mau membai’at Ali sebagai khalifah dan menuntut Ali untuk menghukum para pemberontak yang membunuh khalifah Utsman. Ali tidak mau memperdebatkan masalah tersebut dan menolak desakan Muawiyah. Dari situ muncullah perselisihan antara Ali dan Muawiyah, lalu terjadilah perang antara Muawiyah dan Ali yaitu perang Shiffin. Dalam perang ini pihak Ali hampir menang dan pihak Muawiyah sudah mundur, namun karena politik Muawiyah yang ingin mengadakan tahkim dan mengutus Amr bin Ash sebagai juru penengah yang mengangkat tombak di atas Al-Qur’an sebagai pertanda ingin berhukum dengan Al-Qur’an. Namun pada kenyataannya peristiwa tahkim tersebut tidak berhukum dengan Al-Qur’an. Dari situ muncul golongan yang keluar dari pihak Ali yang menganggap siapa saja orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim tersebut di anggap kafir, karena tidak berhukum dengan Al-Qur’an. Siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah dianggap berdosa besar dan orang yang berdosa besar dianggap kafir atau keluar dari agama Islam. Dari sinilah muncul golongan-golongan pemikir teologi seperti khawarij, syi’ah, mu’tazilah, murji’ah, qadariyah dan jabariyah, serta ahlus sunnah wal jama’ah yang mempunyai pemikiran berbeda-beda mengenai persoalan orang Islam yang berbuat dosa besar dan sekarang berkembang tidak hanya pada persoalan kafir saja tapi persoalan-persoalan lainnya seperti melakukan zina, meminum khamar, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Maarif, Ahmad Syafii dan M. Amin Abdullah. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2007. Mahzum, Muhammad. Meluruskan Sejarah Islam: Studi Kritik Peristiwa Tahkim, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999. Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007. Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986. Hadariansyah. Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Banjarmasin, Antasari Press, 2010. Nasir, Sahilun A. Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1994. Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka setia, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar