BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berfikir, merupakan salah satu aspek yang penting didalam menemukan ilmu pengetahuan. Karena dengan berfikir manusia bisa mengetahui berbagai misteri di alam semesta ini. Didalam Islam sendiri, banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berfikir.
Untuk itulah, pada waktu dulu di dunia Islam banyak para filosof yang mempergunakan akalnya dengan kerangka berfikir filsafat ini, sehingga bisa menghasilkan berbagai karya hebat didalam ilmu pengetahuan. Dan pada zaman itu pula Islam mengalami kemajuan (Golden Age), salah satunya adalah Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof muslim yang terkenal, beliau banyak memberikan kontribusinya dalam dunia filsafat. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.
Dalam makalah ini sekilas akan dipaparkan mengenai pengertian rasionalisme, beberapa pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, biografinya, karya-karyanya, dll.
BIOGRAFI IBNU RUSYD
Nama beliau adalah Abdul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, di Barat dikenal sebagai Averroes, lahir pada tahun 510 H/1126 M di Cordova, sebuah kota Metropolis Spanyol Muslim. Dia berasal dari sebuah keluarga Muslim Cordova termasyhur. Ibn Rusyd muda mendapat pendidikan di kota kelahirannya, yang merupakan tempat pendidikan tertinggi di Barat.
Keturunannya berasal dari keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuan. Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghirah-nya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi ilmuwan. Faktor lain yang lebih dominan bagi keberhasilannya adalah ketajamannya berpikir dan kejeniusan otaknya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana all-round yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra Arab, dan lainnya.
Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar, dan menurut Ibnu Al-Abar, selama masa hidupnya yang panjang itu, hanya ada dua malam yang tak digunakannya untuk belajar, yang pertama malam perkawinannya, dan yang kedua malam kematian Ayahnya.
Ibnu Rusyd mendapat pengetahuannya tentang filosofi dari Abu Ja’far Harun, seorang rasionalis terkenal. Karya filosofinya yang utama adalah Tahafut al-Tahafut (kerancuang yang rancu) yang telah ditulis sebagai bantahan atas karya al-Ghazali, Tahafut al-Falasifa (kebingungan filsafat). Karyanya Tahafut al-Tahafut hakikatnya adalah jawaban atas serangan al-Ghazali terhadap rasionalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
RASIONALISME IBNU RUSYD
A. Pengertian Rasionalisme
Rasional berasal dari kata rasio yang berasal dari kata Latin yaitu ratio padanan kata Yunani logos dengan arti akal, budi atau pikiran. Pemikiran yang hanya menggunakan dan mendasarkan diri pada rasio, muncul di Yunani Kuno untuk pertama kalinya pada abad ke-6 SM.
Rasio, dalam pendidikan erat hubungannya dengan daya pikir, penalaran dan akal budi. Sesuai dengan pemakaian bahasa masa kini, rasio tanpa dibedakan dari penalaran, adalah kemampuan mental manusia yang bukan kemampuan daya tanggap panca indera.
B. Karya-Karyanya
Sebagai seorang filusuf Islam di Barat, Ibnu Rusyd juga membuat karya-karya dalam tulisannya bidang filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut:
1. Tahafut at-Tahafut (bantahan atas karya al-Ghazali, tahaful al-Falasafi).
2. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih).
3. Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal (Kitab ini berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama).
4. Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, (berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi/kajian teologi yang mencoba mempertemukan agama dengan filsafat).
5. Kitab al-Kulliyat fi al-Thib (kuliah tentang obat-obatan).
Karya-karya filsafat Ibn Rusyd seringkali menyebabkan ada yang menganggapnya sebagai orang yang tidak percaya kepada Tuhan. Pemahaman seperti ini bukanlah suatu pernyataan yang sehat dan tepat, karena walaupun Ibn Rusyd menyatakan bahwa kebenaran filosofis dapat diperoleh melalui rasio, tetapi kebenaran religius haruslah diterima berdasarkan keimanan.
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
Filsafat Islam merupakan lingkaran dalam sejarah pemikiran manusia, yang tanpa dipertentangkan lagi merupakan lingkaran penyempurna dan orisinil di dalamnya. Filsafat Islam telah menjelaskan lingkaran-lingkaran lain dan telah menolong memeganginya.
Ibnu Rusyd merupakan satu-satunya filosof muslim yang paling besar pengaruhnya di Barat. Pokok pikirannya yang paling istimewa adalah mempertemukan antara Agama (wahyu) dan filsafat (akal).
Menurut alwi Shihab, ada dua bentuk pendekatan yang dilakukan Ibnu Rusyd dalam meraih tujuan yaitu untuk mempertemukan antara Agama dan filsafat. Masing-masing pendekatan ditulis dalam buku yang berbeda. Pendekatan yang pertama ditulis dalam bukunya yang berjudul Fashl al-Maqal, pendekatan yang pertama ini ia mulai dengan hasil penelitian filsafat, kemudian berakhir dengan menguraikan apa yang dijelaskan agama. Pendekatan kedua, ditulis dalam bukunya al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqaid al-Millat. Pendekatan kedua ini ia mulai kajiannya dengan menjabarkan ajaran agama, kemudian beranjak dengan upaya rekonsiliasi dari hasil penelitian filsafat terhadap alam raya.
Walaupun kedua pendekatan itu berbeda, namun pada dasarnya tujuannya adalah sama, yaitu pembuktian antara kebenaran filsafat dan kebenaran agama. Dalam membuka pembahasan buku Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan tentang hukum mempelajari filsafat menurut agama, apakah dibolehkan (mubah), atau dilarang (mahzur), atau diperintahkan (ma’mur), baik sebagai perintah wajib, ataupun perintah anjuran.
Dalam menjawab pertanyaan di atas, ada dua sudut pendekatan yang dikemukakan Ibnu Rusyd. Pendekatan yang pertama dari sudut penelitian akal, sedangkan pendekatan yang kedua dari sudut nash agama.
Untuk pendekatan yang pertama, dimulai dengan menjelaskan pengertian filsafat. Menurut Ibnu Rusyd, filsafat mempelajari segala yang wujud dan merenungkannya sebagai suatu bukti tentang adanya pencipta. Kemudian ia menjelaskan bahwa segala yang ada ini sebagai suatu ciptaan menunjukkan adanya penciptanya. Untuk mengetahui pencipta tersebut mesti mengetahui ciptaan-Nya justru itulah, menurutnya semakin sempurna pengetahuan terhadap ciptaan-Nya niscaya semakin sempurna pula pengetahuan tentang Sang Pencipta.
Untuk pendekatan yang kedua Ibnu Rusyd mengemukakan ayat-ayat al-qur’an yang dinilainya selaras dengan tujuan penelitian akal. Di antaranya QS. Al-Hasyr: 21 dan Al-A’raf: 185. Ayat yang pertama, menurut Ibnu Rusyd menunjukkan wajib menggunakan pemikiran rasional atau rasional dan agama sekaligus, sedangkan ayat yang kedua mendorong pemeluknya untuk meneliti segala yang ada. Berdasarkan pendekatan tersebut Ibnu Rusyd berkesimpulan bahwa filsafat adalah wajib atau paling tidak dianjurkan oleh agama.
Menurut Ibnu Rusyd filsafat tidaklah bertentangan dengan agama Islam. Orang Islam diwajibkan atau sekurang-kurangnya dianjurkan untuk mempelajarinya. Tugas filsafat ialah berpikir tentang wujud untuk mengetahui Pencipta semua yang ada ini. Di dalam Al-Qur’an, kata Ibnu Rusyd ditemukan banyak ayat yang mengajak atau mendorong orang untuk berpikir atau menggunakan akal. Ayat tersebut antara lain:
لَاَيَاتٍ لِأُوْلِى الْأَلْبَابِ
“.......sebagai tanda-tanda bagi orang yang berpikir”.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ
“Apakah mereka tidak merenungkan”.
أَفَلَاَ يَنْظُرُوْنَ
“Apakah mereka tidak memperhatikan”.
اِعْتَبِرُوْا
“Perhatikanlah”.
أَفَلَا يَعْلَمُوْنَ
“Apakah mereka tidak mengetahui”.
Ayat tersebut menyuruh manusia supaya berpikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Yakni mengetahui dan memperkuat keyakinan tentang adanya Tuhan, keesaan, kemahakuasaan, dan kebesaran-Nya. Dengan demikian, kata Ibnu Rusyd Al-Qur’an dengan ayat-ayat tersebut sebenarnya menyuruh manusia supaya berfilsafat.
Ibnu Rusyd berkesimpulan dengan menggunakan metode kias (sillogisme) Aristoteles. Premis-premis yang digunakan oleh Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut.
1. Premis shugra: tujuan penelitian filsafat terhadap alam adalah untuk sampai kepada Pencipta (Allah).
2. Premis Kubra: agama memerintahkan manusia mengenal Allah dengan meneliti alam dan merenungkannya.
3. Kesimpulan: mempelajari filsafat wajib menurut hukum agama.
Menurut Ibnu Rusyd antara filsafat dan agama tidak bertentangan, karena kebenaran tidaklah berlawanan dengan kebenaran tetapi saling memperkuat. Dengan kata lain, filsafat adalah saudara kembar agama, antara keduanya bagaikan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai.
Menurut Ibnu Rusyd selanjutnya, kalau pendapat akal dan filsafat bertentangan dengan teks wahyu, maka teks wahyu harus diberi interpretasi, sehingga menjadi sesuai dengan pendapat dan akal. Untuk itu digunakan ta’wil. Ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai arti-arti lahir dan arti batin. Arti batin ini hanya dapat diketahui oleh para filosof, dan tidak boleh disampaikan kepada orang awam.
Selanjutnya, Ibnu Rusyd mengungkapkan bahwa apabila penelitian akal menghasilkan pengetahuan tentang sesuatu, akan terjadi dua alternatif: “Sesuatu itu tidak disebut oleh agama atau sesuatu itu disebutkan oleh agama”. Jika sesuatu itu tidak disebutkan oleh agama, tidak ada persoalan, dengan arti sesuatu yang dihasilkan itu dapat dijadikan pegangan. Hal ini sama kedudukannya dengan hukum yang tidak disebutkan dalam syara’ sehingga ahli fiqih menggunakan kias syar’i. Jika ahli fiqih menggunakan kias syar’i, maka tidak ada salahnya filosof (ahl al-burhan) menggunakan kias akli. Justru itu tidak ada alasan untuk menuduh bid’ah terhadap orang yang menggunakan kias akli karena sama kondisinya dengan orang yang menggunakan kias syar’i.
Kalau dikatakan bahwa qiyas aqli itu adalah suatu bid’ah karena tidak terdapat pada masa permulaan Islam, maka qiyas syar’i itu pun suatu bid’ah pula, karena tidak terdapat juga pada masa tersebut. Meskipun demikian, tidak ada seorang pun yang mengatakan bid’ahnya qiyas syar’i.
Sementara itu, penggunaan kias syar’i ini dalam masalah-masalah fiqih sudah dilakukan oleh ulama salaf sejak awal Islam. Jika sesuatu itu disebutkan oleh agama, maka terjadi dua alternatif, yakni nashnya sesuai dengan hasil penelitian akal atau nashnya bertentangan dengan hasil penelitian akal. Jika nashnya bersesuaian, tidak ada masalah, artinya nash menguatkan apa yang dihasilkan oleh penelitian akal. Jika bertentangan dengan nash, nash mesti ditakwilkan.
Menurut Ibnu Rusyd, manusia mempunyai natur dan kemampuan yang berbeda dalam menerima kebenaran, sebab itu ayat-ayat Alqur’an mengandung arti lahiriah dan arti bathiniah. Arti bathiniah ini hanya dapat ditakwilkan oleh orang-orang yang disebut al-rasikhun fi al-Ilmi (kaum filosof Muslim), sebagaimana yang diisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 7. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd arti bathiniah ini tidak boleh disampaikan kepada orang-orang yang tidak mampu memahaminya.
Untuk membuktikan kebenaran persoalan di atas, Ibnu Rusyd mengklasifikasikan manusia kepada tiga golongan, yakni burhaniyyat, yaitu golongan yang hanya berpegang pada argumen yang ditopangi oleh proposisi yang bersifat aksiomatis. Kemudian golongan Jadaliyyat, yaitu golongan yang berpegang pada argumen yang bersifat dialektik, yakni argumen yang rupanya mirip dengan argumen demonstratif, namun dibangun di atas dasar yang bersifat zanny. Dan terakhir adalah golongan Khitabiyyat, golongan yang berpegang pada argumen yang bersifat retorik, yakni argumen yang lebih banyak berdasarkan emosi ketimbang akal. Antara ketiga golongan ini berbeda kemampuannya dalam menerima pembuktian kebenaran. Jadaliyyat dan Khitabiyyat diperuntukkan bagi manusia awam, sedangkan burhaniyyat secara spesifik dikonsumsikan bagi kelompok kecil manusia.
Dalam buku Tahafut al-Tahafut, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa orang yang terang-terangan tidak menerima salah satu prinsip dasar ajaran Islam (al-mabadi’ al-syari’at) yaitu adanya Tuhan, adanya rasul, dan adanya pembangkitan di akhirat seyogianya dihukum kafir. Pernyataan ini dapat dijadikan indikasi bahwa ia tidak pernah meninggalkan wahyu. Kemudian Ibnu Rusyd juga menegaskan bahwa setiap nabi adalah filosof, tetapi tidak semua filosof adalah nabi, filosof adalah pewaris Nabi. Pernyataan ini berarti peringkat filosof di bawah peringkat Nabi dan kesempurnaan filosof tentu tidak mungkin sama dengan kesempurnaan Nabi.
Ibnu Rusyd tidak mengutamakan akal dari wahyu, tetapi ia mewariskan kepada kita pemikir rasional yang sesuai dengan sinyal yang dipantulkan Alqur’an. Pemikiran keagamaan mencerminkan bahwa Islam adalah agama rasional sehingga ajarannya dapat menjadi aktual sepanjang masa. Untuk itu Ibnu Rusyd mengatakan bahwa agama mesti berdasarkan wahyu dan akal. Jika ada agama yang berdasarkan akal semata atau agama yang diciptakan akal, tentu saja nilainya lebih rendah daripada agama yang berdasarkan wahyu dan akal. Hitti mengama yang diciptakan akal, tentu saja nilainya lebih rendah daripada agama yang berdasarkan wahyu dan akal. Hitti menilai bahwa Ibnu Rusyd memang seorang filosof muslim rasional, dalam arti mempercayai kekuatan akal dan menjadikannya sebagai alat untuk mencapai kebenaran di sampingilai bahwa Ibnu Rusyd memang seorang filosof muslim rasional, dalam arti mempercayai kekuatan akal dan menjadikannya sebagai alat untuk mencapai kebenaran di samping wahyu, namun bukan berarti bebas berfikir.
Filsafat Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Hal itu wajar, karena ia banyak menghabiskan waktunya meneliti dan membuat komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles dalam berbagai bidang, sehingga ia digelar Syarih (Komentator).
Pemikiran filsafat Ibnu Rusyd yang paling penting dan sangat dikenal dalam sejarah pemikiran filsafat Islam adalah pembelaannya terhadap filosof dan filsafat mereka dari kritik dan serangan Al-Ghazali.
Salah satu contoh pemikiran Ibnu Rusyd ialah tentang keazalian alam. Dalam masalah ini timbul pertanyaan : Apakah alam ini ada permulaan terjadinya atau tidak?
Dalam ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa ada permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd keazalian Tuhan itu lebih utama dari keazalian alam. Untuk membela pendapatnya, Ibnu Rusyd mengeluarkan argumen sebagai berikut: Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya maka ia hadits (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikannya itu harus ada pula yang menjadikannya lagi, demikianlah seterusnya tanpa ada habis-habisnya. Padahal keadaan berantai demikian (tasalsul) dengan tidak ada putusnya, tidak akan dapat diterima oleh akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadits (baru).
Oleh karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan meskipun tidak sampai pada soal-soal rincian, padahal Tuhan azali dan Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan kecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali meskipun keazaliannya kurang utama dari keazalian Tuhan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu Rusyd adalah seorang pemikir yang melakukan pembelaan terhadap filsafat dan berusaha mempertemukan antara syari’at dan akal serta menyatakan keduanya tidaklah bertentangan. Menurut beliau persoalan agama haruslah dipecahkan dengan akal, akal membantu menjelaskan apa yang disampaikan oleh wahyu. Wahyu tetap berada di atas akal dan wahyu betugas menghindarkan akal dari kesesatan.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa akal juga mempunyai keterbatasan dalam memecahkan masalah-masalah diluar kesanggupan akal. Oleh karena itu kita harus kembali kepada wahyu yang diturunkan untuk menyempurnakan pengetahuan akal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Jamil. Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000, cet. Ke-7.
Amin, Husyn Ahmad. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1995.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedia Nasional Indonesia, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1994.
Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Filsafat dalam Sejarah Pemikiran Islam, Banjarmasin, Kafusari Press, 2012.
Nasution, Hasyimiyah. Filsafat Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1999.
Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Salatiga, CV. Rosda: 1987.
Razi, Muhammad. 50 Ilmuwan Muslim Populer, Jakarta, Qultum Media, 2005, cet. Ke-1.
Sudarsono. Filsafat Islam, Jakarta, PT. Rineke Cipta, 1997.
Supsiyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Masyallaahh saya sangat suka penjelasannya😍😍😍
BalasHapus