BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam konteks memahami al-Qur’an, Ushul Fiqh adalah salah satu ilmu alat yang sangat penting dan amat dibutuhkan, khususnya dalam bidang penetapan hukum-hukum syariah. Ini karena sekian banyak peristiwa bermunculan setiap saat yang berbeda dengan peristiwa/rincian peristiwa yang lalu, padahal teks ayat al-Qur’an dan Hadits tidak sebanyak peristiwa tersebut. Dari sini lahir kebutuhan kepada rumus-rumus yang bersifat umum yang dapat digunakan untuk memahami teks sekaligus menetapkan hukum berdasar rumus-rumus tersebut. Karena itu, salah satu persoalan pokok yang dibahas ilmu ini adalah persoalan lafazh, khususnya dalam kaitannya dengan makna lafazh itu, baik berdiri sendiri sebagai satu kosa kata, maupun setelah terangkai dalam satu susunan kalimat. Ini ulama-ulama Ushul Fiqh lakukan melalui pengamatan dan induksi sehingga kesimpulan yang mereka rumuskan dapat dijadikan patokan untuk menetapkan hukum.
Bahasan mereka bermacam, antara lain menyangkut ragam lafazh serta kekuatan dan kelemahan petunjuk maknanya, yang pada gilirannya mempengaruhi pandangan tentang kepastian hukum yang ditarik darinya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kaidah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui klasifikasi lafal dari segi âm dan khâsh
2. Bagaimana kaidah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui klasifikasi lafal dari segi muthlaq dan muqayyad
3. Bagaimana kaidah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui klasifikasi lafal dari segi manthuq dan mafhum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian âm dan khâsh
Kaidah-kaidah dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an melalui lafal-lafal yang terdapat didalamnya. (Klassifikasi lafal dari segi cakupannya), meliputi:
1. ‘Âm (عام ) dalam pengertian kebahasaan berarti menyeluruh. Dalam pandangan Ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan istilah ‘Âm adalah kata yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafazh, sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain. ‘Âm adalah lafazh yang mencakup segala sesuatu yang dikandung wadahnya tanpa kecuali. Ini berarti lafazh tersebut memiliki satu pengertian saja, kendati ia mengandung beberapa satuan. Karena itu, hukum yang ditarik dari lafazh itu, berlaku pula untuk setiap satuannya.
Tiap-tiap isim ma’rifat yang menunjukkan mufrad, berarti umum dan tiap lafazh nakirah berupa nafy (yang digunakan untuk menafikan sesuatu), larangan, syarat, tanya, ataupun penguatan maka itu menandakan keumuman baik berupa isim maupun fi’il (kata kerja).
Pengertian ‘âm menurut ulama Hanafiyah, syafi’iyah, dan menurut Al-Bazdawi:
a. Menurut ulama Hanafiyah
كلّ لفظ ينتظم جمعا سواء أكان باللفظ أو بالمعنى
Artinya:
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”
b. Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali:
اللفظ الواحد الدّال من جهة واحدة على شيئين فصاعدا
Artinya:
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.”
c. Menurut Al-Bazdawi:
اللفظ المستغرق جميع ما يصلح له بوضع واحد
Artinya:
“Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu makna.”
Kendati demikian, bisa jadi lafazhnya ‘Âm, tetapi ketercakupan seluruh bagiannya dibatasi oleh satu dan lain hal. Karena itu, ulama membagi ‘Âm menjadi tiga kategori:
Pertama, al-‘Âm al-Ishtighrâqy (( العام الاستغراقي , yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya. Misalnya, ketentuan tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk melaksanakan ‘iddah (masa tunggu) selama tiga qurû’ (suci/haid).
Kedua, al-‘Âam al-Majmû’iy (العام المجموعي), yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian-bagiannya satu demi satu, tetapi secara umum saja. Misalnya, kewajiban memercayai nabi-nabi yang diutus Allah. Jumlah mereka banyak namun dua puluh lima nabi yang disebut nama-namanya dalam al-Qur’an sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali itu.
Ketiga, al-Âm al-badaly (العام البدلي), yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafazh itu. Misalnya, perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi dari seorang saja yang berstatus fakir miskin, sudah cukup karena memang lafazh umum disini adalah al-Âm al-badaly.
Ulama ushul fiqh merinci perangkat bahasa yang dapat disimpulkan sebagai memiliki makna umum, dan mereka membatasinya mekanisme keumuman sebagai berikut:
a. Kata “kullu”, apakah ia menjadi permulaan kalimat ataupun muncul sebagai keterangan.
b. Semua kata penghubung, asma’ al-maushul (relative prounoun).
c. Kata ayy, mâ, dan man (mana/apa/siapa), baik sebagai kata syarat, kata tanya, maupun sebagai kata penghubung.
d. Kata jama’ yang di-ma’rifatkan, baik dengan memakai partikel alif lam (al..) ataupun dengan kasus idhâfah (possesive).
e. Kata benda kategorial (isim jins) yang di-ma’rifat-kan baik dengan kasus idhafah maupun dengan partikel alif-lam (al...).
f. Kata benda tak tertentu (indefinite/nakirah) dalam konteks larangan, negasi, dan syarat (kondisional) dan dalam konteks pemeberian anugerah.
Ada banyak kata dan bentuknya yang dapat digunakan untuk menunjukkan keumuman sesuatu, yaitu:
a. Kata kullu (كل) atau jamî (جميع)/ semua dan yang semakna dengannya, seperti firman-Nya:
‘@ä. ¤›ÍöD$# $oÿÏ3 |=|¡x. ×ûüÏdu‘
“Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya” (QS. at-Thûr [52]: 21)
šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_
“Dia (Allah) menciptakan buat kamu apa yang terbentang di bumi” (QS. Al-Baqarah [2]: 29)
b. Isim yang berbentuk jamak dan menggunakan “Al” al-jins (ال الجنس), seperti kata al-mu’minun dalam firman-Nya:
ô‰s% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$#
“Telah beruntung orang-orang Mukmin” (QS. Al-Mu’minun [23]: 1)
c. Bentuk tunggal yang menggunakan “Al” al-Ishtighrâq (ال الاستغراق), yakni yang menunjuk pada ketercakupana semua bagiannya, seperti kata al-Ba’i (بائع) dan ar-Ribâ (الربا) pada firman-Nya:
š¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
d. Bentuk Nakirah dalam konteks larangan, seperti:
Ÿwur Èe@|Áè? #’n?tã 7‰tnr& Nåk÷]ÏiB |N$¨B #Y‰t/r&
“Janganlah engkau shalat (jenazah) terhadap salah seorang pun yang meninggal dari mereka” (QS. At-taubah [9]: 84)
e. Asma’ al-maushûl (أسماء الموصول), yakni mâ (ما), man (من), al-ladzîna (الذين), seperti firman-Nya:
¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#u‘ur öNà6Ï9ºsŒ
“...dan dihalalkan untuk kamu apa yang selain itu” (QS. An-Nisa [4]: 24)
f. Asma’ asy-Syareth (أسماء الشرط), seperti:
`yJsù y‰Íky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuŠù=sù
“Maka barang siapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) bulan (itu), maka hendaklah dia berpuasa” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
g. Asma’ al-istifhâm (أسماء الاستفهام), seperti:
ƨB #sŒ “Ï%©!$# ÞÚÌø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik” (QS. Al-Hadid [57]: 11)
h. Jama’ yang menjadi ma’rifah karena idhâfah (اضافة), seperti kata ummahâtukum (أمّهاتكم) dalam firman-Nya:
ôMtBÌhãm öNà6ø‹n=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu” (QS. An-Nisa [4]: 23)
2. Khâsh
Khâsh (خاص) adalah lawan dari ‘Âm atau dengan kata lain khâsh adalah lafazh yang tidak dapat digunakan mengikutsertakan banyak satuannya. Firman Allah yang menetapkan masa tunggu wanita yang hamil sampai dengan kelahiran anaknya, merupakan lafazh yang khusus untuk wanita yang demikian itu halnya, tidak mencakup selainnya. Lafazh khâsh ditandai oleh banyak tanda, antara lain:
a. Lafazh yang tidak diiringi oleh sifat tertentu. Misalnya kata “kursi”.
b. Lafazh yang diiringi oleh qaid/ikatan, seperti wanita muslimah.
c. Isim yang berebentuk indifinite/tidak tertentu, seperti kata mobil.
d. Isim yang menunjuk tunggal, seperti seekor kucing.
e. Isim yang menunjuk dua sosok, seperti dua orang lelaki.
f. Isim plural/jamak, seperti kata bangsa.
g. Isim musytarak, yakni yang memiliki du arti atau lebih.
Menurut Ibnu Taimiyah, tidak seorang ulamapun yang dapat menyempitkan makna kata umum dalam al-Qur’an karena sebab peristiwa tertentu yang terjadi. Perbedaannya hanya terletak pada penyempitan makna kata sebab keragaman latar belakang dan semisalnya atau pada keumuman makna yang dikandung kata tersebut.
Ulama sepakat menyatakan bahwa yang ‘Âm dapat dipersempit cakupannya sehingga hanya mencakup sebagian dari cakupan asalnya. Ini kalau ada mukashshish-nya/ yang menjadikannya khâsh. Mukhashshish tersebut bisa merupakan bagian dari rangkaian redaksi (tidak berdiri sendiri) dan bisa juga berdiri sendiri dalam arti ditemukan pada ayat/hadits atau dalil di tempat lain. Bisa juga yang mentakhshishnya berupa:
1. Sifat tertentu, seperti firman-Nya:
`tBur öN©9 ôìÏÜtGó¡o„ öNä3ZÏB »wöqsÛ br& yxÅ6Ztƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$# `ÏJsù $¨B ôMs3n=tB Nä3ãZ»yJ÷ƒr& `ÏiB ãNä3ÏG»uŠtGsù ÏM»oYÏB÷sßJø9$#
2. Syarat tertentu, seperti:
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurø—r& bÎ) óO©9 `ä3tƒ £`ßg©9 Ó$s!ur
Adapun mukhashshish yang berdiri sendiri (di luar teks) ulama menyepakati bolehnya jika yang men-takhshishnya ayat adalah ayat juga. Mereka menunjuk sekian banyak contoh, antara lain, firman Allah:
ŸàM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
“Wanita-wanita yang dicerai harus menahan diri menunggu (tidak menikah) selama tiga kali haid/suci” (QS. Al-Baqarah [2]: 228).
Kalimat wanita-wanita yang dicerai berbentuk ‘Âm mencakup semua wanita yang dicerai. Semua mereka berkewajiban melalui masa tunggu selama tiga kali suci/haid sebelum menikah lagi, tetapi firman-Nya:
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq
“Perempuan-perempuan yang hamil, masa tunggu mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Ath-Thalaq [65]: 4)
Ayat ini mentakhshish ayat sebelumnya sehingga ayat tersebut tidak lagi mencakup semua wanita yang dicerai (mengeculikan wanita yang hamil).
Hadits Nabi saw. yang dinilai mutawatirpun dapat mentakhshish ayat al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa kendati hadits tidak mutawatir, selama kuat sanadnya, maka itu bisa men-takhshish ayat al-Qur’an. Contoh mntakhsish ayat Al-Qur’an dengan Hadits:
Firman Allah:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üu‹sVRW{$#
“Allah mensyariatkan bagi kamu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kamu. Yaitu: bagian anak seorang lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” (QS. An-Nisâ [4]: 11)
Ketentuan di atas dipersempit oleh hadits Nabi saw. Yang dinilai mutawatir, yaitu:
القاتل لا يرث
“Pembunuh tidak berhak mendapat warisan”
B. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
1. Muthlaq
Kata muthlaq (مطلق) dari segi bahasa berarti sesuatu yang dilepas/tidak terikat. Dari akar kata yang sama lahir kata thalâq (talak), yakni lepasnya hubungan suami istri sehingga baik suami maupun istri tidak saling terikat.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa ia adalah lafazh yang menunjuk satu atau beberapa satuan dari segi substansinya tanpa ikatan apapun. Misalnya, jika kita berkata: “kaki” maka ini adalah lafazh tunggal yang menunjuk alat yang digunakan untuk berjalan/berdiri. Lafazh ini tidak diikat oleh sesuatu yang membatasi pengertiannya itu. Ia mencakup semua yang fungsinya berjalan atau berdiri.
2. Muqayyad
Muqayyad dari segi bahasa berarti ikatan yang menghalngi sesuatu memiliki kebebasan gerak. Sedang dari segi istilah ditemukan juga banyak definisi. Misalnya, lafazh yang menunjuk kepada satu atau beberapa satuan yang diberi ikatan berupa lafazh yang terpisah darinya, sehingga maknanya tidak lagi seluas/sebebas maknanya sebelum ikatan itu. Ada lagi yang mengartikannya sebagai lafazh yang mengandung penghalang sehingga maknanya tidak seluas sebelumnya sebagai akibat adanya “penghalang”. Betapapun demikian, muqayyad adalah lawan muthlaq. Ketika anda berkata: Muslim, maka ini lafazh muthlaq. Tetapi jika andan berkata: Muslim Indonesia, maka ini adalah lafazh muqayyad, karena tidak lagi mencakup setiap muslim di seluruh dunia, tetapi terbatas pada Muslim yang berwarga negara Indonesia.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa ketetapan hukum menyangkut yang muthlaq mencakup seluruh satuannya. Misalnya, QS. an-Nisa’ [4]: 23, yang berbicara tentang siapa-siapa yang haram dinikahi, antara lain, menyebutkan
وأمهات نسائكم
"...ibu istri-istri kamu (mertua)”.
Yang muqayyad disepakati juga tetap dalam qaid/keterikatannya. Tidak boleh dialihkan maknanya kecuali kalau ada indikator kuat yang menunjukkan bahwa qaid itu tidak berlaku. Firman Allah yang menetapkan kewajiban berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai sanksi atas yang ingin kembali hidup sebagai suami istri setelah menzhihar istri (QS. al-mujâdalah [8]: 4), atau yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja (QS. an-Nisa [4]: 92), sanksinya jika mereka tidak mampu memerdekakan seorang hamba yang mukmin adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Sanksi ini bersifat muqayyad, dan dari segi hukum, lafazh itu tetap dalam qaid-nya, sehingga jika yang bersangkutan berpuasa, tetapi tidak berturut-turut, maka puasanya dinilai tidak sah.
Para ulama menegaskan bahwa ada sekian bentuk pertemuan antara muqayyad dan muthlaq.
a. Perbedaan dalam sebab dan hukum.
Seperti “tangan” dalam berwudhu dan dalam pencurian. Dalam berwudhu, ia dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian dimutlaqkan, tidak dibatasi.
ä-Í‘$¡¡9$#ur èps%Í‘$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ‰÷ƒr&
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya...” (al-ma’idah [5]:38).
b. Perbedaan dalam sebab, tetapi sama dalam ketetapan hukumnya
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarah pembunuhan tak sengaja.
$tBur šc%x. ?`ÏB÷sßJÏ9 br& Ÿ@çFø)tƒ $·ZÏB÷sãB žwÎ) $\«sÜyz 4 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãƒÌóstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡•B #’n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr& HwÎ) br& (#qè%£‰¢Átƒ 4 bÎ*sù šc%x. `ÏB BQöqs% 5ir߉tã öNä3©9 uqèdur ÑÆÏB÷sãB ãƒÌóstGsù 7pt6s%u‘ 7poYÏB÷s•B
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman...” (an-Nisa [4]:92).
Kedua, taqyidnya berbeda-beda. Misalnya “puasa kafarah”, ia ditaqyidkan dengan berturut-turut dalam kafarah pembunuhan. Dalam pada itu puasa kafarah bagi orang yang mengerjakan haji tamattu’ ditaqyidkan dengan terpisah-pisah (maksudnya, puasa itu tidak boleh dilakukan secara berturut-turut).
`yJsù öN©9 ô‰Éftƒ ãP$u‹ÅÁsù Èûøïtôgx© Èû÷üyèÎ/$tFtFãB Zpt/öqs? z`ÏiB «!$#
“Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah...” (al-Nisa [4]:92).
Dalam pada itu puasa kafarah bagi orang yang mengerjakan haji tamattu’ ditaqyidkan (dibatasi) dengan terpisah-pisah (maksudnya, puasa ituu tidak boleh dilakukan secara berturut-turut). Allah berfirman:
`yJsù öN©9 ô‰Ågs† ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$ƒr& ’Îû Ædkptø:$# >pyèö7y™ur #sŒÎ) öNçF÷èy_u‘
“Tetapi jika ia tidak mendapatkan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali...” (al-Baqarah [2]:196)
Kemudian datang pula ketentuan puasa secara mutlaq, tidak ditaqyidkan dengan berturut-turut atau terpisah-pisah, dalam kafarah sumpah:
Ÿ`yJsù óO©9 ô‰Ågs† ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$ƒr&
“Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafarahnya puasa selama tiga hari.” (al-Ma’idah [5]:89).
c. Kesamaan dalam sebab dan perbedaan dalam hukumnya.
Seperti kata “tangan” dalam wudhu dan tayammum, sedang menyapu tangan dalam bertayammum tidak dibatasi, mutlak.
$pkš‰r'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...” (al-Ma’idah [5]:6).
((#qßJ£Ju‹tFsù #Y‰‹Ïè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ‰÷ƒr&ur çm÷YÏiB
“...maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu...” (al-Ma’idah [5]:6).
d. Kesamaan dalam sebab dan hukum
Seperti “puasa” untuk kafarah sumpah. Lafaz itu dalam qira’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara mutlak:
`yJsù óO©9 ô‰Ågs† ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷ƒr& #sŒÎ) óOçFøÿn=ym
“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah [dan kamu langgar]...(al-Ma’idah [5]:89).
C. Pengertian Manthuq dan Mafhum
1. Manthuq dan Pembagiannya
المنطوق هو ما دلّ عليه اللفظ فى محلّ النطق وأما المفهوم ما دلّ عليه اللفظ لا فى محلّ النطق.
Manthuq (منطوق) terambil dari kata nathaqa (نطق), yakni berucap. Manthuq adalah makna yang dikandung oleh kata yang terucapkan. Sedangkan mafhum (مفهوم) terambil dari kata (فهم), yakni memahami. Mafhum adalah makna yang tidak terucapkan yang terdapat pada lafazh dan dipahami dari manthuq itu.
Secara garis besar, manthuq terdiri dari dua macam: pertama, yang tidak mengandung kemungkinan ta’wil/pengalihan makna dan ini dinamai nash. Nash terbagi dua, ada yang (1) sharih ()/jelas. Ini bila lafazh yang digunakan/didengar menunjuk dengan tegas dan jelas maknanya, baik makna itu sesuai sepenuhnya dengan bunyi teks atau hanya dikandung maknanya oleh teks. Bagian ini dinamai juga ‘Ibarat an-Nash(عبارة النص), seperti firman Allah swt dalam penggalan ayat yang menyatakan:
وأحلّ اللّه البيع وحرّم الربا
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Bagian berikutnya dari al-Manthuq adalah yang ke (2) ghairu Sharih (غير صريح)/tidak jelas. Ini yang maknanya bukan muncul dari makna yang diletakkan untuknya, namun demikian makna itu adalah sesuatu yang tidak terpisahkan darinya jika anda berkata “empat”, maka ini bermakna angka yang di atas tiga dan dibawah lima. Itu maknanya. Namun demikian, anda pun dapat berkata “empat adalah angka genap”. Genap itulah yang merupakan manthuq ghairu sharih dan yang sebenarnya bukan itu yang dimaksud dengan kata empat, tetapi selama ia empat, ia pasti genap.
2. Pengertian mafhum dan Pembagiannya
Secara garis besar mafhum dapat dibagi pada dua pokok, yaitu:
a. Mafhum muwafaqah (مفهوم موافقة)
وهو ما كان المسكوت عنه موافقا للمنطوق به. فان كان المسكوت عنه أولى بالحكم من المنطوق به فيسمى (فحوى الخطاب) وان كان مساويا له فيسمى (لحن الخطاب)
Mafhum muwafaqah ini ada 2 macam:
a) Fahwal khitâb, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnya daripada manthuq.
Firman Allah dalam QS. Al-Isra’ [17]: 23
فلا تقل لهما أفّ
Adalah larangan mengucapkan “cis” kepada kedua orang tua, jika denikian, menyakiti hatinya juga terlarang apalagi memukulnya. Menyakiti hatinya atau memukulnya adalah mafhum muwafaqah dari ayat di atas.
b) Lahnul Khitâb, yaitu apabila hukum mafhum sama nilainya dengan hukum manthuq. Misalnya firman Allah:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4’yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ ’Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR
“Sesungguhmya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya” (an-Nisa [4]: 10).
ayat ini menunjukkan pula keharaman membakar harta anak yatim atau menyia-nyiakannya dengan cara pengrusakan yang bagaimanapun juga. Dalalah demikian disebut lahnul khitab, karena ia sama nilainya dengan memakannya sampai habis.
a. Mafhum Mukhalafah
ماكان المسكوت عنه مخالفا للمنطوق به فى الحكم اثباتا ونفيا وهو
Mafhum mukhalafah adalah makna yang tidak terucapkan dan yang ditarik dari manthuq, namun berbeda dengan makna yang dikandung oleh manthuq.
Mafhum ini ada empat macam, yaitu:
a) Mahfum sifat, yang dimaksud ialah sifat ma’nawi, seperti:
1) Musytaq (kata turunan) dalam ayat:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å™$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti...” (al-Hujurat [49]:6).
Pengertian yang dipahami dari ungkapan kata “fasiq” ialah bahwa orang yang tidak fasik tidak wajib diteliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seorang yang adil wajib diterima.
2) Hal (keterangan keadaan), misalnya firman Allah:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=çGø)s? y‰øŠ¢Á9$# öNçFRr&ur ×Pããm 4 `tBur ¼ã&s#tFs% Nä3ZÏB #Y‰ÏdJyètG•B Öä!#t“yfsù ã@÷WÏiB $tB Ÿ@tFs% z`ÏB ÉOyè¨Z9$#
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang berihram. Dan barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya...” (al-Ma’idah [5]:95).
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda menunjukkan tiadanya kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
3) ‘adad (bilangan), misalnya:
kptø:$# Ößgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B
“(musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (al-Baqarah [2]:197).
Mafhumnya ialah bahwa melakukan ihram untuk haji di luar bulan-bulan itu tidak syah. Dan:
óOèdr߉Î=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_
“Maka deralah mereka (yang menuduh zina) itu delapan puluh kali dera..” (an-Nur [24]:4)
Mafhumnya ialah mereka tidak boleh didera kurang atau lebih dari delapan puluh kali.
b) Mafhum syarat, seperti firman Allah:
£bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya.” (at-Talaq [65]:6).
Makna atau mafhumnya ialah istri yang dicerai tetapi tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.
c) Mafhum gâyah (maksimalitas), misalnya:
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù ‘@ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ߉÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry— ¼çnuŽöxî
“Kemudian bila suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain...” (al-Baqarah [2]:230).
Mafhumnya ialah, istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia nikah dengan suami yang lain, dengan memenuhi syarat-syarat pernikahan.
d) Mafhum hasr (pembatasan, hanya). Misalnya:
x‚$ƒÎ) ߉ç7÷ètR y‚$ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (al-Fatihah [1]:5.
Mafhumnya ialah bahwa selain allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kaidah-kaidah Ushul Fiqh merupakan salah satu ilmu alat yang sangat penting dan diperlukan guna menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, khususnya dalam menetapkan hukum-hukum syari’ah.
Sebagian diantara kaidah-kaidah dalam menafasirkan al-Quran yang dirumuskan oleh pakar-pakar Ushul Fiqh itu berupa lafal ‘am dan khas, muthalaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum baik mafhum muwafaqah ataupun mafhum mukhalafah. Sehingga memudahkan para ahli tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah tersebut terhadap ayat-ayat yang ditafsirkan
Daftar Pustaka
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an: kritk terhadap Ulumul Qur’an, ter. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, cet. Ke-IV.
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011, cet. 14.
as-Sibti, Khalid ibn Utsman, Qawa’id at-Tafsir, Dar ibn ‘Affan, 1421 H.
Hakim, Abdul Hamid, al-Bayân, Jakarta: Maktabah Sa’diyah Putra, 1929.
Mahmud, Mani’ Abdul halim, Metodologi Tafsir: kajian komprehensif metode para ahli tafsir, terj. Faisal shaleh dan Syahdianor, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati, 2013, cet. II.
Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2010, cet. IV.
Syukron jazakallahu khoiron ini sangat membatu tabarakallah
BalasHapusSyukron jazakallahu khoiron ini sangat membatu tabarakallah
BalasHapusSyukron katsiiron. Sangat membantu. Jazakumullohu
BalasHapusAssalamualaikum jadi perbedaan am dan mutlak ap ya? Maaf belum paham dan mengerti, tolong minta penjelsan biar lebih jelas, karna ad tugas dari kampus
BalasHapus