SEBAGIAN DARI PEMIKIRAN PENULIS DAN DI AMBIL BERDASARKAN BKU JUJUN S.
1. Berpikir merupakan sifat yang menonjol dari manusia. Jelaskan bagaimana Jujun mengaitkan antara “berpikir”, “filsafat”, dan “ilmu”!
Jawaban:
Menurut Jujun “Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan”. Jujun mengaitkan berpikir, filsafat dan ilmu tersebut dalam sebuah proses kehidupan yang pasti di hadapi oleh manusia sejak lahir, yaitu gerak pemikiran. Proses berpikir manusia dimulai sejak dia bayi dan mulai bisa berkata-kata. Bahasa merupakan salah satu simbol untuk mengekspresikan proses berpikir tersebut yaitu dengan kata-kata, kemudian proses itu akan terus berlanjut sampai manusia itu memasuki pendidikan secara formal, dia mulai mengenal matematika sebagai bahasa yang menggunakan lambang angka. Dengan kedua bahasa (bahasa verbal dan matematika) seseorang manusia mulai berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungannya, baik lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Setelah melalui proses tersebut, seiring dengan perkembangan otak, maka cara berpikirpun akan semakin maju, mendalam, dan kritis. Dan inilah yang disebut dengan berpikir dengan menggunakan filsafat. Mengetahui sesuatu dengan mendalam dan kritis untuk menemukan hakekat sebenarnya. Setelah melalui proses berfilsafat itu, maka akan menghasilkan apa yang disebut dengan ilmu, ia akan mengetahui kegunaan sesuatu itu, dengan menjalani proses tersebut di atas yang pada akhirnya akan menemukan sebuah nilai dari obyek yang dihasilkan pemikiran tersebut. Atau dengan pemahaman sebaliknya, sebelum membuahkan pengetahuan terlebih dahulu harus menggunakan falsafah, karena falsafah merupakan suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh serta mengupas sedalam-dalamnya mengenai suatu pengetahuan dengan menggunakan tiga unsur pokok yang akan membawa kita pada hakekat buah pemikiran tersebut. Unsur tersebut mencakup masalah tentang apa yang ingin kita ketahui? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut? Dan apa nilai kegunaannya bagi kita? Dan berfilsafat berarti berpikir, ketiga unsur inilah yang membawa kita kepada pengetahuan. (halaman 1-4).
2. Jujun membedakan antara “pengetahuan” (knowledge) dan ilmu (science). Jelaskan perbedaan antara keduanya!
Jawaban:
“Ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan” ini berarti pengetahuan itu lebih luas cakupannya daripada ilmu. Ilmu terklasifikasi, tersistem dengan menggunakan metode keilmuan tertentu dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Berbeda dengan pengetahuan, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal atau pengalamannya. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang meminum jus yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk dan rasa jus tersebut. Jadi, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengalaman dan ilmu itu berdasarkan metode keilmuan. Ilmu bagaikan sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya, kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi, sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan yg belum tersusun dengan baik. (halaman 9).
3. Apakah yang mejadi obyek kajian ilmu?
Jawaban:
“obyek penelaahan mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia”. Obyek ilmu itu adalah segala yang ada atau berwujud dan obyek yang berbeda di luar jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam bidang penelahaan keilmuan. “Berdasarkan obyek yang ditelaahnya ini, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Obyek yang dikajinya adalah obyek yang nyata “seperti batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan, hewan atau manusia itu sendiri”. (halaman 5).
4. Apa asumsi-asumsi yang mendasari pandangan ilmu terhadap obyek yang dikajinya?
Jawaban:
Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai obyek yang dikajinya, pertama: “obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, baik dalam bentuk, struktur, sifat, dan sebagainya”. Kesamaan ini bisa dikelompok/diklasifikasikan kedalam satu golongan ilmu.
Kedua: “adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu”. Dan kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari suatu obyek dalam keadaan tertentu. Obyek yang dikaji tidak mungkin bisa dilakukan apabila suatu benda selalu berubah-ubah. Jadi, asumsi yang kedua mengatakan ilmu itu dikaji berdasarkan pada obyek yang tidak berubah dalam jangka waktu tertentu, ilmu hanya menuntut kelestarian yang relatif saja.
Ketiga: asumsi yang ketiga adalah “determinasi dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik)”. Artinya ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yang mutlak, namun bisa saja kemungkinan lain terjadi, kemungkinan lain inilah yang menjadi asumsi ketiga. Yang mengatakan bahwa setiap kejadian tidak berakibat sama secara mutlak, namun ada kemungkinan kejadian tersebut berakibat lain. Seperti halnya sesudah langit mendung maka turunlah hujan, namun hal tersebut tidak mutlak. Mungkin saja sesudah langit mendung tidak terjadi hujan. (halaman 7-8).
5. Ilmu mendasarkan pada gabungan antara metode rasional dan empiris. Jelaskan apa yang dimaksud dengan metode rasional dan empiris itu!
Jawaban:
· Metode rasional: menurut faham rasioanalisme ilmu itu diperoleh dari berpikir secara rasional dan ide tentang kebenaran itu diperoleh dengan cara berpikir dan terlepas dari pengalaman manusia. “Tiap orang cenderung pada kebenaran yang pasti menurut mereka sendiri”. Ini berarti berdasarkan pengalaman manusia itu sendiri. Yakni pengetahuan yang benar adalah menurut anggapan manusia itu masing-masing. Sedangkan menurut faham rasionalisme kebenaran itu diperoleh dengan cara berpikir tanpa berdasarkan pengalaman manusia. Pemikiran setiap orang sudah pasti berbeda-beda, dan akan menghasilkan pendapat yang berbeda pula sesuai dengan pengalaman yang mereka alami. Dan ini artinya pengetahuan yang benar adalah menurut anggapan kita masing-masing. Ini menurut faham rasioanal yang mengatakan kebenaran diperoleh dengan pemikiran. (halaman 10).
· Metode empiris: menurut mereka untuk memperoleh kebenaran yaitu dengan kembali kealam yang diperoleh berdasarkan pengalaman, ternyata juga tidak membawa kita lebih dekat kepada kebenaran. “sebab gejala yang terdapat dalam pengalaman kita baru mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran terhadap mereka”. Penafsiran ini juga memerlukan pemikiran manusia. Metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Untuk memastikan suatu kebenaran yang konsisten dan sistematis itu tidak hanya dengan berdasarkan pada pengalaman akan tetapi juga berdasarkan pemikiran yang logis”.
Intinya dari kedua metode tersebut adalah cara yang sama sekali berlawanan, kalau rasional berdasarkan pemikiran semata, dan empiris hanya berdasarkan pengalaman. Jika kedua metode tersebut digabungkan maka akan menghasilkan kebenaran yang konsisten dan sistematis. (halaman 10-11).
6. Jelaskan keterbatasan ilmu untuk memecahkan problematika hidup manusia!
Jawaban:
Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris dan ilmu hanya mempelajari peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. (halaman 5). Diluar dari yang bersifat empiris akan sulit bagi ilmu untuk menjangkaunya, “kekurangan ilmu itu bersumber pada asumsi landasan epistemologi ilmu, yang menyatakan bahwa kita memeproleh ilmu lewat ingatan dan penalaran” (halaman 17). Ingatan dan penalaran berasal dari panca indera kita yang pada hakikatnya kemampuan panca indera dalam mengetahui sesuatu itu sangat terbatas. Selain sangat terbatas, panca indera juga tidak sempurna dan kadang bisa menyesatkan, misalnya ketika kita melihat matahari, dari bumi memang tampak mulus dan bercahaya terang serta terlihat bulat, tapi pada dasarnya matahari itu bentuknya tidak seperti yang terlihat dan matahari itu kasar. Inilah salah satu bukti bahwa kemampuan panca indera sangat terbatas. Karena ilmu diperoleh melalui alat tersebut sangatlah tepat ketika ilmu mempunyai keterbatasan dalam memecahkan problematika yang kita hadapi. Misalnya ketika kita berpikir tentang Tuhan, kita hanya disuruh untuk mengenalnya saja, tidak untuk mengetahuinya, karena Tuhan Maha Mengetahui bahwa kita tidak akan mampu mengetahui Tuhan secara detail. Jadi ilmu itu hanya membatasi dirinya pada kejadian yang bersifat empiris dan yang dapat dijangkau oleh panca indera saja.
7. Jujun menyebutkan cara berpikir deduktif (umum ke khusus) dan induktif (khusus ke umum) sebagai bagian dari proses keilmuan. Buatlah contoh (dari anda sendiri) pola berpikir deduktif dan induktif tersebut!
Jawaban:
· “Berpikir deduktif adalah proses penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang kebenarannya telah diketahui. Dalam penalaran deduktif ini logika memegang peranan yang sangat penting.”(halaman 21-22).
Contohnya :
Semua lampu bila dinyalakan akan terang
X adalah sebuah lampu
X dinyalakan akan terang
· “Berpikir induktif adalah suatu cara berpikir dalam pengambilan keputusan di mana kita menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus individual”. (halaman 20). Dalam proses berpikir induktif ini diperlukan statistika agar dapat membantu kita dalam menarik kesimpulan umum yang dapat diandalkan. “Statistika mempunyai peranan penting lainnya bila dihubungkan dengan asumsi keilmuan mengenai hubungan sebab akibat” (halaman 21). Ilmu tidaklah menyatakan suatu peristiwa selalu menyebabkan peristiwa lain, melainkan hanya menyatakan peluang untuk terjadinya peritiwa lain.
Contoh berpikir secara induktif :
Husein adalah orang yang bertakwa
Husein akan masuk surga
Semua orang yang bertakwa akan masuk surga
8. Filsafat tidak sekadar mempertanyakan bagaimana proses berpikir keilmuan, tetapi juga mempersoalkan untuk apa ilmu bagi manusia. Jelaskan pandangan Jujun mengenai masalah ini!
Jawaban:
Jujun mengatakan kegunaan ilmu itu sendiri sangat banyak, “Ilmu bisa mengubah dunia dalam memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang duka”. (halaman 35). Namun ilmu bisa juga membawa kepada malapetaka ketika ilmu itu tidak digunakan pada semestinya. Ilmu memang bersifat netral, ia tidak bersifat baik atau buruk seperti manusia. Dan ilmu tidak berpihak kepada siapapun. Ilmu adalah kebenaran yang nyata. Bagaimana memanfaatkan ilmu tersebut tergantung kepada manusia yang menyikapinya. Dan manusia tersebut harus mempunyai landasan moral yang kuat agar ilmu tidak disalah gunakan. Ringkasnya ilmu tidak akan memberikan manfaat jika orang yang berilmu salah dalam menyikapi ilmu tersebut. Ilmu itu sendiri harus mempunyai tiga unsur pokok yaitu ontologi, epistemologi dan axiologi. Tanpa ketiga unsur tersebut ilmu tidak bisa digunakan dan tidak ada nilainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar